Senin, 25 September 2017

Politisi PDI-P: Tidak Etis Panglima TNI Menyatakan Akan Menyerbu Lembaga Tinggi Negara


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris menyayangkan penyampaian misinformasi oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo terkait upaya pembelian 5000 senjata api secara ilegal oleh institusi tertentu. Terlebih ucapannya itu membuat kegaduhan.
"Hal ini sudah menciptakan kegaduhan dan keresahan publik. Sebagai Panglima TNI tentunya Pak Gatot harus bisa memilih dan memilah informasi apa saja yang layak disampaikan keluar," kata Charles kepada Kompas.com, Senin (25/9/2017).
Charles mengatakan, saat ini sudah terbuka melalui statement resmi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto bahwa ternyata institusi yang dimaksud oleh Panglima TNI adalah Badan Intelijen Negara. Pembelian senjata itu pun dilakukan secara legal untuk pendidikan di BIN.
"Sangat tidak etis ketika seorang Panglima TNI menyatakan akan menyerbu sebuah lembaga tinggi negara lainnya. Seharusnya Pak Gatot sebagai pimpinan sebuah lembaga tinggi negara bisa berkoordinasi dengan baik dengan lembaga-lembaga lainnya untuk mensukseskan program kerja pemerintahan Jokowi, bukan malah sebaliknya," ucap Charles.
Politisi PDI-P ini pun menyarankan, menjelang masa pensiun, Gatot bisa fokus menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang tersisa dalam upaya membangun dan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas TNI. Gatot, kata dia, harus fokus meninggalkan legacy yang baik sebagai seorang pimpinan TNI.
"Statement Pak Wiranto sudah merupakan pernyataan sikap resmi dari pemerintah. Saya berharap dengan apa yang disampaikan Pak Wiranto tadi malam kegaduhan dapat segera diakhiri dan tidak ada polemik terkait hal ini lagi," ucap Charles.
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyampaikan, ada institusi yang berencana mendatangkan 5.000 pucuk senjata secara ilegal dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Indonesia. Gatot menyampaikan, TNI akan mengambil tindakan tegas jika hal tersebut dilakukan, tidak terkecuali apabila pelakunya berasal dari keluarga TNI bahkan seorang jenderal sekalipun.
Lebih lanjut, Gatot menegaskan, nama Presiden Jokowi pun dicatut agar dapat mengimpor senjata ilegal tersebut. "Mereka memakai nama Presiden, seolah-olah itu yang berbuat Presiden, padahal saya yakin itu bukan Presiden, informasi yang saya dapat kalau tidak A1 tidak akan saya sampaikan di sini. Datanya kami akurat, data intelijen kami akurat," kata dia.
Namun pernyataan Panglima itu dibantah Menkopolhukam Wiranto yang menjelaskan bahwa pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal ada institusi non-militer yang berencana mendatangkan 5.000 pucuk senjata secara ilegal adalah keliru. Yang benar, kata dia, institusi non-militer yang berniat membeli senjata itu adalah Badan Intelijen Negara (BIN) untuk keperluan pendidikan.
Jumlahnya pun tak mencapai 5.000 pucuk, tetapi hanya 500 pucuk. BIN juga sudah meminta izin ke Mabes Polri untuk pembelian senjata itu. Izin tak diteruskan ke TNI lantaran spesifikasi senjata yang dibeli BIN dari Pindad itu berbeda dengan yang dimiliki militer.
Sumber : Kompas

Kritik Ke Prabowo, PDIP: Jangan Gunakan Cara Murahan


Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris mengkritik Prabowo Subianto karena menganggap bantuan yang diberikan Indonesia untuk warga etnis Rohingya hanyalah bentuk pencitraan.
“Saya berharap tidak ada pihak-pihak yang menggunakan cara-cara murahan seperti menunggangi isu Rohingya untuk mendegradasi kerja-kerja pemerintahan Jokowi-JK,” kata Charles Honoris kepada wartawan, Minggu (17/9).
Menurut Charles, pemerintahan Jokowi sedang melakukan segala upaya yang dimungkinkan untuk segera menghentikan siklus kekerasan di Rohingya. Presiden Jokowi sudah mengirim Menlu Retno untuk menemui baik petinggi sipil maupun militer di Myanmar.
Di forum-forum internasional, kata Charles, pemerintah juga berupaya menggalang komunitas internasional untuk memberi tekanan kepada Myanmar agar kekerasan harus segera dihentikan.
“Lalu saya ingin kembali bertanya kepada pak Prabowo apa yang harus dikerjakan pemerintah tidak disebut pencitraan? Apakah harus mengirim pesawat tempur untuk mengebom Yangon? Apakah harus mengirimkan prajurit TNI ke Myanmar untuk melakukan invasi militer? Atau apa?” tanya Charles.
Menurutnya, Myanmar adalah negara berdaulat. Oleh karena it, intervensi militer harus melalui mekanisme hukum internasional seperti resolusi Dewan Keamanan PBB.
Charles menegaskan pemerintah sedang berupaya maksimal melalui opsi-opsi yang tersedia untuk menghentikan siklus kekerasan di Myanmar.
Sumber : JPNN

PDI-P: Pernyataan Prabowo Mengada-Ada...


Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Charles Honoris mempertanyakan pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menyebut bantuan pemerintah RI untuk kaum Rohingya adalah pencitraan.
"Statement Prabowo mengada-ada dan tidak berdasar. Pemerintahan Jokowi sedang melakukan segala upaya yang dimungkinkan untuk segera menghentikan siklus kekerasan di Rohingya," kata Charles kepada Kompas. com, Minggu (17/9/2017).
Charles menegaskan, Presiden Joko Widodo sudah mengirim Menlu Retno Marsudi untuk menemui baik petinggi sipil maupun militer di Myanmar. Di forum-forum internasional, pemerintah juga berupaya menggalang komunitas internasional untuk memberi tekanan kepada Myanmar agar kekerasan harus segera dihentikan. Bantuan kebutuhan pokok juga sudah dikirimkan.
"Lalu saya ingin kembali bertanya kepada Pak Prabowo apa yang harus dikerjakan pemerintah agar tidak disebut pencitraan?" kata Charles.
"Apakah harus mengirim pesawat tempur untuk mengebom Yangon? Apakah harus mengirimkan prajurit TNI ke Myanmar untuk melakukan invasi militer? Atau apa?" tambah dia.
Anggota Komisi I DPR ini menegaskan, Myanmar adalah negara berdaulat. Oleh karena itu, intervensi militer harus melalui mekanisme hukum internasional seperti resolusi Dewan Keamanan PBB.
Oleh karena itu, pemerintah tak bisa bergerak sembarangan. Pemerintah sedang berupaya maksimal melalui opsi-opsi yang tersedia untuk menghentikan siklus kekerasan di Myanmar.
"Saya berharap tidak ada pihak-pihak yang menggunakan cara-cara murahan seperti menunggangi isu Rohingya untuk mendegradasi kerja-kerja pemerintahan Jokowi-JK," ucap Charles.
Prabowo sebelumnya menganggap bantuan kemanusiaan yang diberikan Indonesia untuk warga etnis Rohingya di Rakhine State, Myanmar adalah bentuk pencitraan Presiden Joko Widodo.
"Kalaupun kita sekarang kirim bantuan menurut saya itu pencitraan. Kirim bantuan pun tak sampai kadang-kadang. Jadi saudara-saudara di sini saya harus kasih tahu supaya tidak emosional," kata Prabowo di Bundaran Patung Kuda, Jakarta, Sabtu (16/9/2017).
Padahal menurut Prabowo, langkah yang bisa dilakukan Pemerintah untuk membantu Rohingya adalah dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang disegani di dunia.
"Percaya sama saya, kalau kita kuat kaum Rohingya kita bantu, kita beresin. Kita harus kuat untuk bantu orang lemah, tidak bisa lemah bantu lemah, miskin bantu miskin," tambah dia.
Sumber : Kompas

Tak Rela Prabowo Tuding Jokowi Pencitraan Soal Rohingya


Politikus PDI Perjuangan Charles Honoris tak bisa menerima pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menuding pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) melakukan pencitraan dengan membantu etnis Rohingya yang kini di tempat-tempat pengungsian di Myanmar. Anggota Komisi I DPR yang membidangi urusan luar negeri itu bahkan menyampaikan pernyataan keras untuk mengkritik Prabowo.
"Statement Prabowo mengada-ada dan tidak berdasar. Pemerintahan Jokowi sedang melakukan segala upaya yang dimungkinkan untuk segera menghentikan siklus kekerasan di Rohingya," ujar Charles dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (17/9).
Lebih lanjut Charles mengatakan, Presiden Jokowi sudah mengirim Menteri Luar Negeri Retno P Marsudi untuk menemui tokoh-tokoh penting di Myanmar, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi. Selain itu, pemerintahan Presiden Jokowi juga berupaya menggalang komunitas internasional untuk memberi tekanan kepada Myanmar agar menghentikan kekerasan terhadap warga Rohingya.
"Lalu saya ingin kembali bertanya kepada Pak Prabowo apa yang harus dikerjakan pemerintah agar tidak disebut pencitraan? Apakah harus mengirim pesawat temput untuk mengebom Yangon (kota di Myanmar, red)? Apakah harus mengirimkan prajurit TNI ke Myanmar untuk melakukan invasi militer? Atau apa?" ujar Charles.
Menurut Charles, Myanmar merupakan negara berdaulat sehingga untuk melakukan intervensi militer harus melalui mekanisme hukum internasional seperti resolusi Dewan Keamanan PBB. Karena itu, katanya, pemerintah Indonesia berupaya maksimal melalui opsi-opsi yang tersedia untuk menghentikan siklus kekerasan di Myanmar.
Charles pun mengingatkan semua pihak tidak menunggangi isu Rohingya untuk komoditas politik. "Saya berharap tidak ada pihak-pihak yang menggunakan cara-cara murahan seperti menunggangi isu Rohingya untuk mendegradasi kerja-kerja pemerintahan Jokowi-JK," pungkas anak buah Megawati Soekarnoputri di PDIP itu.
Sebelumnya Prabowo saat ikut Aksi Bela Rohingnya di kawasan Silang Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (26/9) menganggap bantuan kemanusiaan untuk etnis minoritas muslim di Myanmar itu hanyalah bentuk pencitraan. Prabowo beralasan, pemerintah Indonesia semestinya bisa disegani sehingga bisa melakukan upaya maksimal dalam membantu warga Rohingya yang terusir dari Myanmar.
Sumber : JPNN

Jumat, 25 Agustus 2017

Politikus PDIP Minta Polri Bongkar Jaringan Lain Setelah Saracen


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris meminta kepolisian membongkar jaringan penyebar isu SARA lainnya yang serupa dengan grup Saracen. Dia mengatakan masih ada puluhan ribu situs hoax yang digunakan untuk penyerangan terkait pemilu.

"Saya mendapatkan informasi bahwa ada jutaan akun dan puluhan ribu situs hoax yang sudah disiapkan untuk menghadapi perhelatan politik di tahun 2018 dan 2019," ujar Charles dalam keterangan tertulis, Jumat (25/8/2017).

Charles menuturkan hal tersebut dapat mengancam persatuan bangsa karena bisa memecah belah suara rakyat.

"Tentunya hal ini dapat mencederai iklim demokrasi yang sehat menjelang pilkada dan pemilu, dan lebih lagi mengancam persatuan bangsa," kata Charles.
Politikus PDIP itu meminta Polri bisa mengungkap dan menangkap jaringan-jaringan lainnya. Sebab, menurut Charles, penyebaran hoax dan ujaran kebencian adalah pelanggaran pidana yang mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Oleh karena itu, saya berharap Polri terus melanjutkan pengungkapan dan penangkapan jaringan-jaringan lain yang menyebarkan ujaran kebencian dan hoax di media sosial," ucapnya.

Menurut Charles, ujaran kebencian dapat memicu konflik horizontal. Juga memperbanyak masyarakat melakukan radikalisme, bahkan aksi terorisme.

"Oleh karena itu, ujaran kebencian harus kita lawan bersama. Ditunggu pengungkapan dan penangkapan selanjutnya," tutur Charles.
Sebelumnya, polisi menangkap tiga pelaku berinisial JAS, MFT, dan SRN. Mereka dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 22 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan/atau Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman 4 tahun penjara.

Kepolisian menyebut kelompok Saracen sering menawarkan jasa untuk menyebarkan ujaran kebencian bernuansa SARA di media sosial. Setiap proposal mempunyai nilai hingga puluhan juta rupiah.
Sumber: Detik

Minggu, 04 Juni 2017

Kritikan Politikus PDIP Buat Ketua Pansus RUU Terorisme Ini Tajam

Charles Honoris

Anggota Komisi I DPR dari PDI Perjuangan Charles Honoris mengkritik kinerja panitia khusus revisi Undang-Undang Anti Terorisme. Menurutnya kinerja mereka lambat. Charles mengatakan hal itulah yang kemudian membuat sejumlah lembaga survei menempatkan DPR sebagai lembaga yang paling tidak bisa dipercaya publik.‎

"Pembahasan RUU tindak pidana terorisme terkesan agak lambat. Oleh karena itu, tidak heran berbagai lembaga survei‎ menempatkan DPR sebagai lembaga yang paling tidak dipercayai publik hari ini," kata Charles di Jakarta, Rabu (31/5/2017).
Dia juga mengkritik komposisi pansus RUU Anti Terorisme yang dipimpin oleh Muhammad Syafi'i. Menurutnya Syafi'i tidak layak menjadi ketua sehingga kinerja pansus jauh dari maksimal.
"Kita lihat‎ Romo Syafi'i yang menjadi ketua pansus statement-statement-nya kontraproduktif, saya ingat dalam kunjungan pansus terorisme ke Poso. Ketua Pansusnya menyampaikan bahwa sebetulnya yang teroris di sini bukan Santoso, tapi polisi yang teroris," kata dia.
"Bahkan Romo Syafi'i mengglorifikasi Santoso, kalau saya melihat begini, mungkin ketua pansus itu punya ideologi lebih dekat kepada pelaku teror dibanding ideologi sebagai ketua pansus yang membahas tindak pidana terorism," Charles menambahkan.
Sampai sekarang revisi UU masih diperdebatkan terus, bahkan definisi terorisme dan judul RUU-nya sendiri.
"Definisi terorisme itu sendiri masih dalam perdebatan, kemudian dari judul revisi UU nya pun masih diperdebatkan, tapi kami sudah sepakat bahwa judul revisi UU ini tetap menggunakan tindak pidana terorisme, karena tanpa kata pidana terorisme maka implikasinya bisa berbeda," tuturnya.
Dia mengamati pembahasan lain yang masih alot adalah masalah masa penahanan. Dalam daftar inventaris masalah, ‎penahanan dilakukan selama 30 hari dan mendapatkan penambahan dan bisa diperpanjang 180 hari ditahap penyidikan.
"Pada ‎dasarnya kami tidak keberatan dengan penambahan masa penahanan, tapi dengan catatan bagaimana terkait dengan pengawasannya. Jangan sampai masa penahanan begitu lama bisa berpotensi untuk abuse of power, penyalahgunaan kewenangan, berpotensi juga untuk adanya pelanggaran HAM terduga pelaku teror," kata dia.
Sumber : Suara

Senin, 15 Mei 2017

Vonis Ahok, Politikus PDIP Nilai Hakim Lebih Takut Tekanan Ketimbang Keadilan


Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Charles Honoris mengaku kecewa dengan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Majelis hakim memvonis Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selama 2 tahun penjara karena terbukti melakukan penodaan agama.
“Putusan hakim dalam kasus Ahok mengecewakan, hakim memutuskan bukan atas dasar fakta hukum tapi karena intervensi dan tekanan,” kata Charles melalui pesan singkat, Selasa (9/5/2017).
Charles melihat kasus Ahok sejak awal merupakan dagangan politik bukan suatu perkara yang lahir akibat proses hukum.
“Kasus ini lahir dari rahim pilkada DKI 2017, bukan karena adanya tindak pidana yang dilakukan seorang Ahok,” kata Anggota Komisi I DPR itu.
Charles mengungkapkan selama masa persidangan dapat dilihat besarnya upaya intervensi dan tekanan dari berbagai pihak terkait kasus Ahok.
Hal itu dilakukan untuk kepentingan-kepentingan pilkada DKI dan upaya mendegradasi pemerintahan Jokowi.
“Intervensi terhadap putusan hakim dilakukan melalui demonstrasi di jalanan, dari meja pimpinan DPR sampai komentar elite-elite partai politik. Terbukti, hakim lebih takut dengan tekanan dan intervensi ketimbang menerapkan keadilan,”‎ kata Charles.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri Jakarta memerintahkan agar menahan terdakwa penodaan agama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Perintah tersebut karena Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama.
“Memerintahkan terdakwa ditahan,” kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Dwiarso, saat membacakan amar putusan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (9/5/2017).
Pada sidang vonis, majelis hakim memvonis Ahok pidana penjara dua tahun.
“Menyatakan terdakwa Ir Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pidana penodaan agama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu pidana penjara dua tahun,” kata Dwiarso.
Sumber : Tribunnews